Menyikapi Valentine’s Day

[Hari valentine (Hari Kasih Sayang) akan segera tiba, tahukah Anda bahwa memperingati Hari Valentine konotasinya adalah pemujaan terhadap dewa? Bagaiamnakah menyikapinya?]

Hari Valentine yang jatuh pada tanggal 14 Februari begitu semarak tiap tahunnya di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Hari tersebut di anggap sebagai hari spesial utuk mencerahkan kasih sayang.
Namun, tidak semua negara di dunia ini memperbolehkan adanya perayaan Hari Valentine oleh masyarakatnya. Di Iran, toko-toko dilarang untuk menjual kartu dan hadiah valentine sebagai hari kasih sayang di republik Islam itu. Pencetakan dan produksi setiap barang yang terkait dengan hari itu, termasuk poster, kotak, dan kartu yang dihiasi dengan hati atau separuh hati, bunga mawar merah, dan setiap kegiatan untuk mendorong hari itu dilarang.
Yang menjadi permasalahannya, rupanya valentine sudah sangat populer di Iran, baik pria maupun wanita bertukar coklat, bunga, parfum, dan hadiah lain pada tanggal tersebut. Bahkan setiap tahun, toko-toko hadiah di kota-kota besar bertaburan perlengkapan Hari Valentine dan restoran-restoran di Teheran dipenuhi pemuda-pemudi yang berkencan, sehingga fenomena ini menuai kritik keras dari tokoh-tokoh konservatif yang melihat bahwa tidak ada ruang dalam kebudayaan Islam bagi penyelenggaraan perayaan seperti itu.
Di jepang, Hari Valentine meriah karena pamasaran yang tinggi. Pada hari itu, para wanita memberi permen coklat kepada para pria yang mereka sayangi. Namun ini tidaklah dilakukan secara sukarela melainkan sebuah kewajiban. Coklat ini disebut sebagai giri-choko, dari kata giri (kewajiban) dan choco (coklat). Karena pemasaran pula, sebuah hari balasan yang disebut “Hari Putih” (White Day) muncul. Sebulan kemudian pada tanggal 14 Maret, para pria yang sudah mendapat coklat pada Hari Valentine diharapkan memberikan sesuatu kembali kepada pasangannya.
Sementara di Indonesia terlibas pula oleh arus budaya ini. Memang awalnya hanya sebatas saling berbalas ucapan. Akan tetapi, lambat laun merembet dan menjiplak habis budaya Barat tersebut tanpa tahu latar belakang munculnya budaya ini. Malahan dari tahun ke tahun, makin populer dan cenderung konsumtif karena perayaan valentine banyak memprovokasi orang untuk membeli barang-barang terkait dengan valentine, seperti kotak coklat, perhiasan, dan boneka. Apalagi pertokoan dan media pun ramai-ramai mengadakan acara berkaitan dengan valentine, sehingga valentine lebih mirip dengan hari-hari besar.
Asal-Usul
Kapan Valentine Day datang dan dirayakan, tak ada kejelasannya secara pasti. Yang jelas perayaan tersebut merupakan produk barat beberapa abad silam yang kemudian diikuti sebagian besar masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Namun, ada beberapa versi yang bisa menerangkan asal muasalnya.
Pertama, sebuah hari untuk mengenang tokoh Kristen bernama Santo Valentine yang meninggal sebagai martir, ia dihukum mati dengan cara dipukuli dan dipenggal kepalanya pada tanggal 4 Februari 270 M oleh Kaisar Romawi, yaitu Raja Cladius II (268-270)
Menurut Wikipedia, sebagaimana mengutip Ensikopledia Katolik (1908), gagasan terkemuka dari Santo Valentine ini adalah dengan cinta dan kasih sayang merupakan dambaan bagi semua orang dan gagasan ini menginspirasi kebanyakan pemuda pada saat itu.
Kedua, sebuah hari untuk menghormati Dewi Juno (Dewi Perempuan dan Perkawinan). Bangsa romawi kuno percaya bahwa Dewi Juno adalah ratu dari dewa dan Dewi bangsa Romawi. Ketiga, Ken Sweiger dalam artikel “Should Biblical Christian Observe It?” (www.kornet.org) mengatakan bahwa kata “valentine” berasal dari kata lain yang memiliki arti “Yang Mahakuasa” yang ditujukan kepada Tuhan orang Romawi, yaitu Nimrod dan Lupercus. Karena itu, bila kita mengatakan “to be my valentine” ini berarti kita memintanya menjadi “Sang Mahakuasa”

Mengacu pada pemahaman di atas, Hari Valentine hanyalah sebagai penghormatan belaka. Bila sekarang banyak orang yang memanfaatkannya dengan membuat produk-produk yang bernuansa valentine, sebagai tanda kasih sayang yang diberikan kepada pasangannya, teman, dan sebagainya, sebenarnya hanya mengekor budaya barat saja.

Kasih Sayang dalam Islam
Sejatinya, kasih sayang dalam Islam terhadap sesama tidaklah terbatas dengan ruang dan waktu, tidak hanya pada tanggal tersebut. Nabi Sallallahu’alaihi Wa Sallam bersabda, “Cintailah manusia seperti kamu mencintai diri kamu sendiri” (HR. Bukhari). Islam melarang keras untuk saling membenci dan bermusuhan, namun sangat menjunjung tinggi arti kasih sayang terhadap umat manusia.  Rasulullah Sallallahu’alaihi Wa Sallam bersabda, “Janganlah kamu saling membenci, saling mendengki, saling berpalingan, dan jadilah kamu sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Juga tidak dibolehkan seorang muslim tidak bertegur sapa terhadap saudaranya lewat tiga hari” (HR. Muslim)

Dari sini, kita sangat dianjurkan untuk saling menghargai antarsesama. Analogi menarik yang digambarkan Nabi adalah perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal percintaan, kasih sayang, dan belas kasihan mereka, laksana satu tubuh. Apabila sakit salah satu anggota tubuh tersebut, maka akan menjalarlah rasa sakit itu ke seluruh anggota tubuh lainnya dengan menimbulkan insomnia (tidak bisa tidur) dan demam (panas dingin).

Bahkan dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Baihaqi melalui Anas ra. menyatakan bahwa tidak akan masuk surga kecuali orang yang penyayang. Jadi, kasih sayang yang dimaksudkan tetap berpijak pada koridir yang benar, tetap menjunjung norma agama dan etika di masyarakat, tidak berdasar pada hawa nafsu.

Yang dikhawatirkan adalah orang yang tidak paham soal valentine sehingga justru tidak terjerumus dalam hal-hal negatif karena salah menafsirkan kasih sayang di hari yang dianggap spesial ini. Sebab realitasnya, bentuk kasih sayang itu seringkali dimaknai secara salah kaprah dan kebablasan. Bagaimana tidak, jika seorang yang mencintai pasangannya-padahal belum terikat dalam pernikahan, dengan dalih kasih sayang. Namun, melakukan hal yang dilarang agama atau menafsirkan valentine sebagai hari menghabiskan malam dengan hura-hura dan foya-foya.

Dalam bahasa agama disebutkan bahwa hubungan berlawanan jenis yang diekspresikan melalui hawa nafsu hanya dihalalkan setelah terikat pernikahan. Kemudian hura-hura dan foya-foya sendiri juga terlarang. Terlepas dari sejarahnya sendiri, adalah aneh jika sesuatu yang dilarang agama menjadi sesuatu yang diistimewakan dan ditradisikan. Patut dipertanyakan pula jika sesuatu yang telah menggejala di berbagai belahan dunia justru menabrak koridor agama.

Fakta perayaan yang kontaproduktif dengan ajaran Islam ini juga dikritisi banyak tokoh. Bukan saja para ulama di Iran, melainkan juga datang dari Ulama Indonesia. Salah satunya adalah KH. Lailurrahman, salah seorang ulama (Ketua MUI Cabang Pemekasan), pernah berpendapat bahwa konotasi Hari Valentine adalah hari dewa-dewa, sehingga perayaan Hari Valentine bagi umat Islam, masuk dalam kategori menyimpang (www.surya.co.id)

Oleh sebab itu, ia menghimbau agar umat Islam tidaklah latah ikut-ikutan merayakan Hari Valentine mengingat asal-muasal dan substansinya dinilai tidak relevan dengan nilai-nilai Islam. Kendati tidak menegaskan bahwa memperingati Hari Valentine hukumnya haram, namun ia menegaskan bahwa segala sesuatu yang menjadi pijakan perbuatan di luar akidah Islam, maka perbuatan tersebut menyimpang dari nilai-nilai agama Islam.

Kasih sayang dalam Islam tidaklah dibungkus dengan hawa nafsu. Jangan sampai kita meniru sesuatu yang tidak kita tahu ilmunya, sebab bisa jadi malah malapetaka. Ingat sabda Nabi Sallallahu’alaihi Wa Sallam yang diriwayatkan Tirmidzi, “Barangsiapa yang meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut.”

diadopsi dari: Majalah Hidayah

0 komentar:

Posting Komentar